Minggu, 29 September 2013

►Nusantara, Pusat Peradaban Dunia

0 komentar
Nenek moyang bangsa Nusantara, khususnya Pulau Jawa adalah pencipta kebudayaan dunia. Leluhur bangsa Nusantara (Indonesia) merupakan manusia-mansuia tangguh dan cerdas, pencipta peradaban dunia. Bahkan jauh sebelum tahun masehi, kerajaan nusantara adalah penguasa duapertiga wilayah bumi. India dulu hanyalah salah satu kadipaten dari kerajaan yang berpusat di pulau Jawa. Sumber dari peradaban dunia bisa dikatakan semuanya bermula dari Nusantara.
Semuanya memberikan kita gambaran bahwa nenek moyang bangsa Indonesia bukan orang-orang terbelakang. Kalau kemudian sejarah dunia saat ini tidak memposisikan peradaban nusantara sebagai sumber dari peradaban dunia, maka itu tidak lebih bagian dari kerja-kerja ilmuwan dari belahan dunia barat yang ingin mengingkari realitas.
Saya terkejut mendengar penjelasan ini dari seorang teman baru ketika saya usai mengikuti sebuah acara beberapa waktu lalu di Semarang. Teman ini orang Semarang, tetapi kini merasa lebih enjoy bermukim di Jogja. Raut wajahnya nampak serius menceritakan semuanya kepada saya yang menunjukkan ia sungguh-sungguh.
Bahkan teman saya ini punya komunitas yang sedang berusaha mengungkap kebesaran peradaban Nusantara. Jejak arkeologi sedang terus digali untuk memberi gambaran tentang kemahaagungan nenek moyang kita. “Tunggu saja, kami akan buktikan nanti. Tetapi ini bukan pekerjaan mudah untuk membuat dunia percaya karena sudah lama dicekoki sejarah yang dibuat ilmuan barat,” katanya yakin.
Banyak yang teman baru saya ini diceritakan kepada saya. Misalnya tentang cerita Mahabrata adalah cerita nyata yang sesungguhnya terjadi di Nusantara. Kerajaan Astina itu adalah kerajaan di Nusantara. Ini berarti tokoh-tokohnya yakni para Pandawa dan Kurawa bukanlah orang Hindustan di Tanah India, melainkan orang-orang Jawa!!
Keterlibatan kerajaan-kerajaan lainnya dalam perang Berathayudha adalah kerajaan-kerajaan kecil yang berada dibelahan dunia lainnya. Ini menegaskan bagaimana Kerajaan Nusantara adalah sebuah wilayah dengan kekuatan dan kekuasaan politik yang sangat besar karena bisa menyeret kerajaan lainnya untuk berperang.
Kehebatan nenek moyang kita juga ditunjukkan dengan keberadaan Candi Borobudur. Candi ini, kata teman ini, sudah ada jauh sebelum tahun masehi dikenal. Jadi anggapan ilmuwan yang menyatakan bahwa candi ini dibangun pada abad ke-8 masehi tidaklah benar.
Patung di dalam candi borobudur juga bukan Patung Budha melainkan patung Raja Saylendra yang kebetulan mencapai tahap perjalanan Bathin mirip dengan yang dialami Sidhartha Gautama. Diceritakan bahwa Raja Saylendra membuat Candi Borobudur setelah mencapai perjalanan sampai nirwana. Salah satu yang diingat Saylendra adalah suara musik di alam nirwana yang begitu melekat dipikirannya. Lalu Saylendra berusaha menemukan/mencipatakan alat yang bisa mengeluarkan suara seperti yang diingatnya. Dari pencarian ini dicipatakanlah gambelan yang dijawa dikenal dengan gambelan laras selendro.
Jadi nenek moyang bangsa Indonesia adalah mereka-mereka yang menjadi pencetus peradaban dunia. Nusantara adalah pusat dari peradaban dan asal muasal dari semua peradaban di planet bumi ini. Benar atau tidak, percaya atau tidak, kembali kepada diri kita. Anggaplah semua cerita kawan ini benar, maka sangat pantas bagi kita untuk bangga kemudian menguatkan rasa percaya diri kita bahwa kita adalah manusia-manusia unggul. Kalau kemudian kita menjadi terpuruk seperti saat ini, maka itu semua karena ulah kita yang melupakan asal-usul kita. Siapa sesungguhnya kita dan darimana kita berasal.

Jumat, 27 September 2013

►Menapaki Perjalanan Sunda

0 komentar
Sunda. Kalau kata ini diucapkan, orang pasti akan langsung mengkaitkannya dengan etnis. Atau dengan suatu wilayah geografis di sebelah barat P.Jawa. Atau lebih khusus lagi mengkaitkannya dengan kebudayaan, bahkan hanya keseniannya semata.
Jarang ada yang mengira, kalau Sunda itu lebih dari sekedar kebudayaan, etnis ataupun wilayah suatu daerah. Memang dalam peta zaman kolonial, nama Sunda tertera  sebagai Sunda Besar dan Sunda Kecil, Selat Sunda, Laut Sunda. Namun, temuan-temuan ilmu pengetahuan semakin menguak eksistensi Sunda : bukan sekedar wilayah kecil berbudaya khas. Di luar dugaan, Sunda disebut-sebut sebagai kontributor utama untuk kemajuan peradaban berbagai bangsa.
Hal ini dengan jelas dipaparkan oleh Oppenheimer dalam “Thesis Sunda”-nya. Juga dengan gamblang diceritakan beberapa peneliti antropologi dan sejarah dunia. Di samping itu, beberapa tahun yang lalu, telah terbit perhitungan kalender Sunda, yang setelah melalui tahapan penelitian dan perhitungan, ternyata memiliki tingkat akurasi sangat tinggi. Dengan sebutan “Kalangider”, menurut perhitungan kalender inipun  merupakan kalender tertua di dunia.
Berangkat dari temuan-temuan tersebut, maka melalui tulisan ini dicoba disusun untuk menghubungkan sejarah kebudayaan yang terkait dengan kesundaan, yang membentang disepanjang lini ruang dan waktu. Pada intinya, dalam tulisan ini dijelaskan secara global bahwa budaya manusia, dalam hal ini budaya Sunda, saat membangun peradabannya menempatkan diri sebagai bagian dari alam.
Tulisan ini terbagi menjadi beberapa segmen :
  1. Menceritakan awal kehidupan di bumi, dari sel tunggal hingga manusia.
  2. Menceritakan Sunda, dari belum ke berbudaya hingga memiliki kebudayaan.
  3. Menceritakan dunia berbudaya, yakni pengaruh budaya Sunda pada dunia.
Diharapkan tulisan ini memberi gambaran umum mengenai kontribusi Sunda dan kebudayaannya, baik bagi lingkungannya maupun bagi dunia. Disamping itu, tulisan ini diharapkan dapat melahirkan lebih banyak lagi tulisan dan ide-ide mengenai kesundaan.
BAB I
AWAL KEHIDUPAN
Awal kehidupan bermula dari satu noktah kecil. Satu titik kecil yang disebut sel. Yakni mahluk hidup terkecil. Sel tunggal pertama ini konon ditemukan di laut. Kemudian berkembang biak dan tumbuh berkembang serta berevolusi. Ada yang menjadi tumbuhan dan ada yang menjadi hewan. Semakin lama semakin banyak jenisnya, semakin tambah rupanya dan bentuknyapun semakin sempurna. Tumbuhan dan hewan yang berasal dari satu titik selpun, mulai terpisah, mulai membentuk kelompok-kelompoknya sendiri. Ukuran mahluk hidup juga semakin bertambah besar, baik di laut maupun di darat.
Pertumbuhkembangan dan evolusi mahluk hidup selanjutnya membuat langkah maju. Awal perkembangan mahluk hidup dicatat dengan sebutan zaman “Paleozoikum Primer”, yakni sejarah kehidupan perkembangan mahluk hidup. Di dalamnya, ada yang disebut dengan masa “Kambrium”, yakni masa dimulainya pemisahan antara tumbuhan dan hewan, yang mulanya berasal dari satu sel tadi. Berikutnya, disebut dengan zaman “ Ordovisien”, yakni munculnya binatang sebangsa udang, cumi-cumi purba, rumput laut, ganggang laut, agar-agar, karang dan ubur-ubur.
Beberapa langkah lebih maju, daratan mulai ditumbuhi tanaman dan pepohonan. Ini terjadi pada masa “Karbon”, dimana hewan reptilpun sudah mulai berkembang, kemudian hewan menyusui.
Pada masa “Mesozoikum Sekunder” , daratan dan lautan mulai diisi oleh berbagai mahluk hidup. Selain bentuk dan jenisnya semakin beragam, juga semakin ‘meraksasa’ ukurannya, seperti mahluk yang kini dikenal dengan nama dinosaurus, arkosaurus, tiranosaurus, dan burung raksasa – pterosaurus, menjadi puncak akhir zaman mahluk raksasa di darat. Ini dikenal dengan sebutan zaman “Kapur”.
Kemudian, ada perubahan zaman dan ukuran mahluk hidup. Pada zaman “Kaenozoikum Tertier”, ukuran hewan menjadi lebih kecil (mengecil). Pada zaman ini ditemukan badak, tikus juga monyet. Setelah itu pada zaman “Neozoikum Kwartet”, ditemukan hewan darat besar, yakni mamut, gajah raksasa berbulu tebal. Pada masa itu pula mulai ada manusia purba.
BAB II
SUNDA
DARI BELUM BERBUDAYA HINGGA MEMILIKI KEBUDAYAAN
“Phitecanthropus Erectus”, adalah manusia purba yang hidup di daratan Sunda. Paparan Sunda merupakan sebuah kepulauan yang sangat luas. Manusia purba ini konon hidup pada zaman “Pleistosen”. Awal kwartet, lebih kurang satu-dua juta tahun lalu. Fosil manusia modern ditemukan pada lapisan sedimen Pleistosen di daratan tanah Sunda.
Dari manusia purba, manusia mengalami evolusi yang mengantarnya menjadi lebih sempurna. Budaya manusia diperoleh dari hasil olah tenaga, keinginan, pikiran dan perasaan. Kemampuan manusia untuk berkreasi sesuai dengan lingkungan tempat tinggalnya, menghasilkan adat budaya yang khas dan berbeda dengan yang dimiliki manusia di tempat yang berbeda.
Sunda memiliki keindahan panorama yang khas. Gunung yang menjulang tinggi, hutan yang lebat dan rapat — sebagai sumber makanan—sumber mata air yang jernih, memantulkan suasana tenang, damai dan makmur. Embrio budaya Sunda berangkat dari lingkungan alam yang tenang dan kaya khazanah alam tropisnya. Embrio budaya Sunda ditelusuri dari khasanah keseharian hidup yang telah mentradisi secara turun-temurun, yang hingga kini masih tetap dijaga kelestariannya.
Manusia Sunda hidup selaras dengan alam. Belajar dari alam. Cermat dan cerdik menangkap tanda-tanda alam. Salah satunya peka pada suara-suara alam: suara angin, suara hujan, suara halilintar, suara angin, juga suara hewan. Alam yang tenang membentuk budaya kehidupan yang tenang.
Kemampuan memahami suara sangat penting dalam membentuk suara. Suara berkembang menjadi bahasa. Upaya berbahasa merupakan suatu cara untuk menyampaikan pesan. Awalnya adalah pesan sederhana, kemudian berkembang seiring akumulasi pengalaman, membentuk serta mengembangkan perbendaharaan kata. Belajar mencintai alam dari lubuk hati terdalam sehingga menyatunya dengan alam. Adalah budaya yang tercermin dalam keseharian manusia Sunda, dan tercermin dari cara manusia Sunda bertutur: tenang, mengalun, ringan.
Kebudayaan ada yang berkembang di tepian sungai. Dari hulu, hilir, muara sungai, delta, telaga hingga menciptakan di sepanjang garis pantai. Aliran air membuahkan kreativitas. Kreativitas membentuk budaya. Dari membersihkan diri, mengambil air untuk berbagai kebutuhan, hingga membuat alat transportasi air.
Orang Sunda hingga kini akrab dengan alat angkut air. Paling sederhana, yang kini biasa digunakan untuk permainan anak-anak, namanya rakit-gebog. Rakit ini terbuat dari beberapa batang pohon pisang : dua, tiga hingga empat pohon pisang ditebang, diambil batangnya. Panjang batang pisang disamakan, disejajarkan hingga membentuk alas, lalu dipasak dengan bambu (pasak bambu). Selain untuk anak bermain di sungai, rakit gebog juga dapat digunakan untuk alat transportasi melintasi sungai. Praktis, begitu rusak, bisa dengan mudah membuat lagi dengan yang baru. Yang juga tak kalah pentingnya : ramah lingkungan.
Bicara tentang tumbuhan yang tumbuh subur di tanah Sunda, selain pohon pisang, berbagai jenis tanaman bambu mudah dijumpai. Tanaman bambu tumbuh cepat, mudah memperbanyak diri. Sifatnya : kuat, lentur, ringan, dan karena berongga, bambu itu mengambang di air. Selain itu mudah diolah.
Dengan demikian bambu bisa dibuat untuk memenuhi berbagai kebutuhan dalam menjalankan kehidupan. Bambu dipergunakan untuk membuat rumah : dari tiang, rangka, dinding bilik, lantai, sampai ke atap.
Bambu dipakai untuk perabotan dan peralatan rumah tangga : dari bambu yang dipakai seutuhnya seperti untuk saluran air bersih, bangku, jemuran, pago, parako, berbagai anyaman sampai yang terkecil dipakai seumat dan lain-lain.
Karambak Ikan-hal4
Gb : Karambak ikan
Bambu dipakai untuk peralatan dan perlengkapan petani ; dari kincir air untuk irigasi, garu, rancakan, sundung, paranggong, pagar, ajir, aseuk, bungbun, tudung cetok dan lain-lain.
Kincir Air-hal4
Gb : Kicir air
Bambu dipakai untuk peralatan dan perlengkapan berburu dan peternakan. Untuk berburu diantaranya : sumpit, bubu, tombak, jamparing, eurad, dan lain-lain. Untuk peternakan : kandang, kurung, sayang, dan lain-lain.
Bambu dipakai untuk peralatan dan perlengkapan perairan di sugai termasuk jembatan dan transportasi air (rakit), untuk memelihara ikan dalam karambak. Di laut didirikan pagang untuk menangkap ikan.
Rakit bambu-hal4 Gb : Rakit bambu
Bambu juga dipakai untuk alat musik, seperti kohkol, calung, angklung, suling yang menghasilkan suara nyaring dan jernih. Bebrbagai suara alami memberikan inspirasi musik. Saat mengisi lodong dengan air, yang memberi inspirasi membuat tangga nada, yang hingga kini berlaku ialah Salendro, tangga nada lima-nada dengan interval yang sama.
Dari sini kemudian lahir berbagai macam lagu dan patokan lagu (patet). Dari lima nada dalam satu genyang (oktav) dikembangkan menjadi sepuluh nada. Kemudian, perkembangan ini melahirkan laras atau tangga nada degung atau pelog, madenda atau sorog. Setelah ada tangga nada ini, mulailah banyak diciptakan berbagai macam instrumen : seperti instrumen tabuh, dan tiup.
Setelah dapat menempa logam, lahir instrumen lainnya.  Musik Sunda bukan hanya digunakan sebagai sarana hiburan, namun juga untuk kegiatan-kegiatan sakral dan berbagai upacara. Asalnya, musik Sunda ini tidak dituliskan. Kemudian baru ditulis oleh Pak Mahyar.
Dunia tulis menulis sebenarnya dikenal sebagai budaya buhun. Dari hasil penelitian ditemukan berbagai tingkat perkembanagn bentuk huruf. Abjadnya bernama “ka-ga-nga”. Abjad ini lalu berkembang di India, dikenal sebagai tulisan Sansekerta. Sekarang “kaganga” dikenal dengan “ha-na-ca-ra-ka-“.
Penulisan dengan “kaganga” awalnya menggunakan kayu atau bambu sebagai kertasnya. Alat tulisnya bisa pisau, bisa juga getah pohon. Setelah itu, daun lontarpun digunakan sebagai alas untuk menulis. Pada masa berikutnya, ditulis pada saeh (daun) atau pada logam tipis, seperti : tembaga, timah atau kuningan. Bagi para raja, bisa saja memakai lembaran emas. Bersamaan dengan tulisan (huruf), penulisan angka serta ilmu hitungnya juga sama dikembangkan.
Perkembangan berikutnya adalah penelitian kalender. Awalnya adalah memperhatikan keberadaan bulan. Saat bulan setengah lingkaran, dihitung sebagai awal bulan. Lalu bulan purnama, bulan setengan lingkaran berikutnya lalu bulan gelap kembali ke setengah lingkaran lagi, tercatat antara 29 atau 30 hari. Kemudian Ki Sunda mempelajari keberadaan matahari.
Memeriksa matahari tentu tidak bisa ditatap langsung, tidak seperti saat menggunakan bulan sebagai tolak – ukur perhitungan kalender. Menggunakan matahari sebagai patokan, harus menggunakan alat bantu yakni lingga (batu yang berdiri tegak). Bayangan lingga diukur dengan menggunakan lidi.
Setelah satu tahun, bayangan (yang diukur dengan lidi) membentuk satu gelombang (kini dikenal dengan gelombang sinus). Jarak satu gelombang = 365, 25 hari. Inilah perhitungan satu tahun matahari. Diatur kemudian, bahwa satu tahun itu 365 hari untuk selama 3 tahun, tahun keempatnya 365 + (4X0.25) = 366 hari. Dan tahun ke-128, yang jatuh pada tahun ke empat (biasanya 366 hari) dijadikan 365 hari.
Satu tahun matahari = munculnya 12X bulan purnama. Dari sini ditetapkan bahwa satu tahun = 12 bulan. Tapi 12X bulan purnama bila dihitung dari perhitungan bulan, akan sama dengan 354 lebih sedikit. Inilah perhitungan satu tahun bulan. (Dari hasil penelitian Kalangider, A.Sastramidjaja, 1990).
Dengan demikian, penanggalan Sunda  memiliki dua buah perhitungan : yakni pertama berdasarkan perhitungan matahari dan kedua berdasarkan perhitungan bulan. Kelender Sunda menggunakan semuanya hingga saat ini. Kalender matahari digunakan untuk hal yang berkaitan dengan musim, yakni musim kemarau, musim hujan, dan sebagainya.
Kalender bulan digunakan untuk mencatat sejarah yang ditulis dengan lontar atau batu, caritera dan paririmbon (astrologi) ditulis di atas lontar, akurasi kalender Sunda sangat tinggi, baik kalender matahari maupun kalender bulan.
Sunda juga mencatat pertumbuhan dan perkembangan anak. Mulai dari dalam kandungan, saat lahir, remaja hingga awal dewasa. Pengetahuan ini dimaksudkan agar calon orang tua mengetahui apa yang perlu diperhatikan, selama mengasuh anak baik secara fisik maupun secara mental. Misalnya, saat bayi berusia satu minggu, ditulis bahwa bayi suka tersenuym sendiri.
Lalu, diceritakan pula proses seorang anak kapan mulai belajar berjalan, dan bagaimana membimbingnya. Mengenai permainan terurai bagi anak sejak lahir sampai awal remaja. Saat anak laki-laki menginjak usia antara tiga hingga enam tahun, disunat. Sunat merupakan tradisi budaya Sunda sejak dahulu.
BAB III
SUNDA MEMBUDAYAKAN DUNIA
Sumber : Thesis Sunda (Oppenheimer), et al.
Dalam tulisan ilmiah Oppenheimer, disinyalir Sunda pernah mendunia. Salah satu penetrasi budaya yang menjadi kontribusi Sunda dalam distribusi global (keluar wilayah Sunda) adalah tradisi sunat, teutama bagi laki-laki.
Tradisi sunat di Sunda ini telah mempengaruhi daerah : Mediterania Timur, Sub-Sahara Afrika, Teluk Persia, Afrika Timur, Timur Dekat Kuno (termasuk Mesir), Nugini, Korea, Oseania. Di Sunda, tradisi ini diberlakukan sejak anak berusia sekitar 3 – 6 tahun.
Sunat mudah diterima secara luas, karena alasan kebersihan dan kesehatan yang menjadi faktor utama. Kebersihan dan kesehatan organ vital terutama untuk pria, akhirnya menjadi tradisi di banyak tempat, dan dikodifikasi oleh agama-agama Samawi. Selain sunat, kebudayaan, gaya hidup, keahlian di bidang teknologi maritim dan pertanian juga ikut menyebar luas dari daratan tanah Sunda ke berbagai daerah yang dikunjunginya.
Dalam thesis Sunda-nya Oppenheimer mensinyalir adanya migrasi jangka panjang dari wilayah Sunda ke berbagai wilayah lain, dengan populasi berlebih, disebabkan oleh bencana banjir. Diasumsikan, bencana inilah yang menjadi pencetus perkembangan keahlian maritim yang Adi luhung yang dimiliki masyarakat Sunda.
Maka, ekspansi Sunda diawal milenium terjadi karena kecanggihan teknologi maritimnya, untuk masa itu, termasuk di dalamnya bidang pelayaran. Teknik kelautan merupakan prasyarat bagi migrasi jangka panjang. Dibutuhkan kapal yang kokoh, besar dan mudah menembus berbagai kendala yang mungkin terjadi selama mengarungi samudra.
Oppenheimer menengarai/menandai bahwa populasi Sunda asli yang didukung oleh keahlian maritim yang handal, telah membawa peradaban (Sunda) ke Asia Selatan (wilayah sungai Indus), Asia Barat (Mesopotamia), serta menyentuh peradaban Mesir dan belahan Afrika lainnya, serta merambah hingga Eropa (termasuk di dalamnya Basque).
Peradaban yang terbentuk berekspansi dan sanggup membuat ikatan lintas budaya, beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Sistem budaya formal, seperti mitos, bahasa, seni, sistem religi, alat musik dan bentuk-bentuk musik, cara menulis dan perhitungannya, termasuk detail bukti atas tapak Sunda diberbagai wilayah perluasannya.
Tapak sunda lain yang menyebar luas adalah penyebaran bibit-bibit tanaman : talas, jagung (maizena), pisang, mangga, dan hasil pangan lainnya. Rempah-rempah merupakan andalan utama hasil kebun yang didatangkan langsung dari tanah Sunda untuk diperdagangkan. Rempah-rempah inilah yang mencuatkan nama Babilonia di Timur, dan Mesir di Barat sebagai pusat-pusat perdagangan dunia pada masa itu. Babilonia menerima barang-barang dagangan dari timur untuk dibawa ke barat (Mesir). Dan dari Mesir, barang-barang dagangan ini, rempah-rempah dari tanah Sunda, diteruskan ke Eropa.
Dari sinilah orang-orang barat (Eropa) mengenal rempah-rempah. Demikian terkenalnya tanah Sunda, hingga namanya terpatri di berbagai Prasasti/tiang kota di mesir maupun Atlantis, dengan sebutan Sunsa-Dwipa. Ini membuktikan bahwa ekspansi Sunda memberi kedudukan yang kokoh untuk jangka waktu yang lama, terutama kontribusinya di dunia perdagangan.
Ikonografi, produk-produk patung, ukiran logam (perunggu), dan gerabah, juga menjadi ciri kuat keterkaitan kesinambungan penetrasi budaya Sunda di berbagai wilayah sebarannya, dalam hal ini di Afrika. Ikonografi patung-patung Afrika yakni ukiran perunggu dari Ife. Model ini pada akhirnya memberikan temuan betapa dekatnya kemiripan akan model-model ketuhanan.
Oppenheimer, yang adalah seorang dokter pedriastis/ahli genetika, justru memberi kontribusi untuk temuan ilmiah, bahwa ekspansi sunda ke barat juga membawa ikutan distribusi penyakit darah yang diturunkan secara genetis, yang dikenal dengan sebutan talasemia.
Jelajah penyebaran talasemia sangat cocok dengan “hipotesa perluasan Sunda”, khususnya DNA tipe B. Talasemia disinyalir menjadi cikal-bakal penyakit malaria.
Sunda berekspansi dan pengaruhnya bertahan lama, tidak lain akibat kepandaian, keberanian dan rasa ingin tahu dalam mencoba hal-hal baru, termasuk bermigrasi. Kecerdasan intelektual yang dipadu dengan kemampuan beradaptasi (kecerdasan emosional dan adversitas), serta keyakinan akan wujud pertolongan Sang Hyang Widi (kecerdasan spiritual), merupakan landasan utama yang membentuk sosok manusia Sunda yang menempatkan diri selaras dengan alam, dan sebagai bagian dari alam. Pengaruh budaya Sunda pada dunia pada akhirnya mendorong dunia menjadi lebih berbudaya, lebih mandiri dan kemudian mampu membudayakan diri sendiri.
KESIMPULAN :
Sunda yang saat ini tereduksi menjadi enam etnis dan kebudayaan yang menempati sebagian kecil wilayah suatu negara, dahulu merupakan sebuah wilayah besar dengan kemajuan peradaban dan pengetahuannya.
Migrasi ke berbagai belahan dunia, berimbas pada penyebaran budaya, keahlian hidup, perilaku (termasuk mitos), perdagangan, pertanian, penyebaran bibit tanaman dan penyakit genetis.
Disadari atau tidak, kontribusi Sunda pada dunia banyak yang masih tetap dipertahankan, salah satunya adalah tradisi sunat.
* * *
Artikel terkait :
Ki Sunda di Tatar Sunda (Indonesia)
Ki Sunda di Tatar Sunda
Menapaki Perjalanan Sunda
Kalender Sunda & Revisi Sejarah
Makanan Sunda
Susunan Warna Kasundaan
Amanat Galunggung Prabu Darmasiksa Leluhur Sunda
Pangeran Wangsakerta Sang Sejarawan
Dalam Kenangan, Abah Ali Sastramidjaja
Ras Nusantara
Ketika Jawa Bertemu Belanda
Prasasti Batu Tulis Bogor
Prasasti Ciarunteun Peninggalan Kerajaan Tarumanegara
Perbedaan Batu Tulis, Petilasan dan Makam
The Differences between Written-Stone, Petilasan Site & Tomb
Baduy-Sebuah Perjalanan Batin ke Suku Kuno tahun 1959
Kebon Raya Bogor
Sejarah Bangsa & Tanah Air Indonesia (Purbakala/The Last Continent)
Peninggalan Prasejarah Masa Perundagian
Prehistoric Remains from the Bronze-Iron Age
Prehistoric Remains from Neolitic Stage
Peninggalan Prasejarah Zaman Bercocok Tanam
Prehistoric Sites Along the Banks of Ciliwung River
Peta Lokasi Situs Prasejarah di Daerah Aliran Sungai Ciliwung
Tokoh-Tokoh Galuh Menurut Wangsakerta
Galuh Berarti Putri Bangsawan atau Sejenis Batu Permata
Keberadaan Galuh Sepanjang Sejarahnya, Sang Manarah
Gurindam Dua Belas
Boats & Ships during Kingdoms Era in Nusantara Archipelago
Perahu-Perahu di Masa Kerajaan Nusantara
Asal-Usul Bahasa Nasional, Bahasa Indonesia
Kerajaan Salakanagara
Kerajaan Tarumanagara
Kerajaaan Indraprahasta
Kerajaan Kendan
Kerajaan Galuh
Kerajaan Sunda
Wangsa Sanjaya
Kerajaan Saunggalah
Kerajaan Sunda-Galuh
Kerajaan Kuningan
Kerajaan Cirebon

Perang (Pasundan) Bubat
Kerajaan Sumedang Larang
Kerajaan Pajajaran
Kerajaan Sunda Kelapa – Jayakarta – Batavia
Kerajaan Banten
Kerajaan Talaga
Tabel Pemimpin Kerajaan Sunda, Galuh
Musik/Music
Musik Etnik Nusantara/Nusantara Ethnic Music
Musik Yoga, Meditasi & Terapi / Yoga, Meditation & Therapy Music
Kelas Yoga & Singing Bowl (Genta Tibet)
Asanas Yoga, Jiwa Gembira Melalui Gerakan-Gerakan Tubuh
Prenatal Yoga
Yoga Ibu Hamil
Meditasi
Rileksasi Dalam
Meditation
Orbs at Yoga Class
Orbs & Light Beings in Ancient Tribe, Java-Indonesia
Conversation with the ORBS
Thanks for What We Have – Music Performance at the Orphanage
Surya Candra Bhuana





Senin, 23 September 2013

SEJARAH DAN SILSILAH KEMAHARAJAAN SUNDA NUSANTARA

0 komentar
(Bagian-1 : Periode Sebelum Masehi s/d awal berdirinya Kerajaan Pajajaran)

Menurut cerita yang beredar di kalangan para sesepuh Sunda, runtutan para Buyut dan Rumuhun (Karuhun/Leluhur/Nenek Moyang) perjalanan bangsa Sunda di awali dari daerah Su-Mata-Ra. Mereka membangun kebudayaan selama beribu-ribu tahun di kawasan Mandala Hyang (Mandailing) daerah Ba-Ta-Ka-Ra sampai ke daerah Pa-Da-Hyang (Padang) pada periode 100.000 – 74.000 Sebelum Masehi. Pada masa tersebut para Karuhun tersebut telah memeluk ajaran yang disebut dengan nama “Su-Ra-Yana” atau ajaran Surya. Hingga satu masa Gunung Batara Guru meletus hingga habis, dan meninggalkan sisa Kaldera yang sekarang menjadi danau (Toba) yang sangat luas (100 Km2). Diberitakan dunia tertutup awan debu selama 3 bulan akibat meletusnya gunung tersebut.

Masa berganti cerita berubah, pusat kebudayaan bangsa Sunda yang disebut dengan mandala Hyang bergeser ke arah Selatan ke gunung Sunda, yang sekarang terkenal dengan nama Gunung Krakatau (Ka-Ra-Ka-Twa). Pada saat itu belum dikenal konsep Negara, tapi lebih kepada konsep Wangsa (bangsa). Wilayah Mandala Hyang pada masa itu dikenal dengan sebutan “Buana Nyungcung” karena terletak pada kawasan yang tinggi. Sementara Maya Pa-Da (Jagat Raya) dikenal dengan sebutan Buana Agung/Ageung/Gede dan Buana Alit (Jagat Alit), kata buana di jaman yang berbeda mengalami metaformosis kata menjadi “Banua” atau “Benua”. Puncak Pertala di Buana Nyungcung Gunung Sunda dijadikan Mandala Hyang, begitu juga dengan gelar Ba-Ta-Ra Guru yang menggantikan petilasan/tempat yang sudah hilang-menghilang. Pada masa ini kehidupan wangsa menunjukan kemajuan yang luar biasa, perkembangan budaya serta aplikasinya mencapai tahap yang luar biasa, dengan berbagai penemuan teknologi di darat dan laut. Daerah ini terkenal dengan sebutan “Buana A-ta” (Buana yang kokoh dan tidak bergeming). Oleh bangsa luar dikenal dengan sebutan “Atalan”(mungkin maksudnya Ata-Land).

Kembali kemajuan disegala bidang tersebut terhenti kembali ketika Gunung Sunda meletus (Gunung Ka-Ra-Ka-Twa), daratan terbagi menjadi dua (Sumatra dan Jawa), dan mengakibatkan banjir besar dan berakhirnya zaman es pada sekitar 15.000 SM. Semua bukti kemajuan jaman wangsa tersebut hilang dan tenggelam. Paska peristiwa banjir besar tersebut, bangsa Sunda kembali membangun peradabannya hingga menurut cerita dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Sindhu (Sang Hyang Tamblegmeneng, putra Sang Hyang Watugunung Ratu Agung Manikmaya) yang kemudian mengajarkan kepercayaan Sundayana (Sindu Sandi Sunda). Ajaran tersebut kemudian menyebar ke seluruh dunia. 

Perjalanan Prabu Sindu ke wilayah Jepang membuat ajarannya diberi nama Shinto, ajaran Surya (matahari), bahkan ajaran tersebut kemudian dijadikan bendera bangsa. Perjalanan penyebaran ajaran tersebut kemudian bergerak sampai ke daerah India, sampai kepada sebuah aliran sungai besar yang membelah sebuah lembah yang nantinya dikenal dengan Lembah Sungai Sindu (Barat mengenalnya dengan nama Lembah sungai Hindus), tepatnya di daerah Jambudwipa. Perkembangan ajaran tersebut sangat luar biasa sehingga menghasilkan sebuah peradaban tinggi “Mohenjodaro dan Harapa” yang memiliki kemiripan nama dengan “Maharaja-Sunda-Ra dan Pa-Ra-Ha/Hu persis dengan sebuah tempat di wilayah Parahyangan sekarang. Ajaran Prabu Sindu yang selanjutnya disebut agama Hindu asalnya merupakan ajaran Surayana-Sundayana, yang hingga kini masih tersisa di wilayah Nusantara ada di daerah Bali sekarang, serta agama Sunda Wiwitan yang isinya sama menjadikan Matahari serta Alam sebagai panutan hidup, dan bila dikaji lebih mendalam ajaran ini merupakan ajaran ”Monotheism” atau percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kebudayaan bangsa Sunda yang berlokasi di sekitar Gunung Sunda (Gunung Ka-Ra-Ka-Twa), dibuktikan dengan ditemukannya fakta sejarah, dan penemuan arkeologis yang ada daerah Sumatera bagian Tengah dan Jawa bagian Barat, sebagai berikut:
1. Kota Barus di pesisir Barat Sumaetara
Merupakan satu-satunya kota di Nusantara yang namanya telah disebut sejak awal abad Masehi oleh literatur-literatur dalam berbagai bahasa, seperti dalam bahasa Yunani, Siriah, Armenia, Arab, India, Tamil, China, Melayu, dan Jawa. Berita tentang kejayaan Barus sebagai bandar niaga internasional dikuatkan oleh sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolemaus, seorang gubernur dari Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir, pada abad ke-2. Di peta itu disebutkan, di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang menghasilkan wewangian dari kapur barus. Diceritakan, kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari Barousai itu merupakan salah satu bahan pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II, atau sekitar 5.000 tahun sebelum Masehi.

2.. Kerajaan Melayu Tua di Jambi

Meliputi : kerajaan Kandis yang terletak di Koto Alang, wilayah Lubuk Jambi, Kuantan, Riau. Kerajaan ini diperkirakan berdiri pada periode 1 Sebelum Masehi. Di samping itu, di daerah Jambi terdapat tiga kerajaan Melayu tua yaitu: Koying, Tupo, dan Kantoli. Kerajaan Koying terdapat dalam catatan Cina yang dibuat oleh K’ang-tai dan Wan-chen dari wangsa Wu (222-208) tentang adanya negeri Koying. Tentang negeri ini juga dimuat dalam ensiklopedi T’ung-tien yang ditulis oleh Tu-yu (375-812) dan disalin oleh Ma-tu-an-lin dalam ensiklopedi Wen-hsien-t’ung-k’ao. Diterangkan bahwa di kerajaan Koying terdapat gunung api dan kedudukannya 5.000 li di timur Chu-po (Jambi). Di utara Koying ada gunung api dan di sebelah selatannya ada sebuah teluk bernama Wen. Dalam teluk itu ada pulau bernama P’u-lei atau Pulau.

3. Kerajaan Salakanagara. 

Kerajaan ini dianggap sebagai kerajaan tertua di Nusantara. Kerajaan ini berkedudukan di Teluk Lada Pandeglang namun ada juga yang menyatakan kerajaan ini berkedudukan di sebelah Barat Kota Bogor di kaki gunung Salak, konon nama gunung Salak diambil dari kata Salaka. Tidak diketahui pasti sejak kapan berdirinya kerajaan Salakanagara, namun berdasarkan catatan sejarah India, para cendekiawan India telah menulis tentang nama Dwipantara atau kerajaan Jawa Dwipa di pulau Jawa sekitar 200 SM, yang tidak lain adalah Salakanagara. Naskah Wangsakerta menyebutkan bahwa sejak ± tahun 130 Masehi pada saat itu sudah ada pemerintahan kerajaan Salakanagara di Jawa Barat. Salakanagara (kota Perak) pernah pula disebutkan dalam catatan yang disebut sebagai ARGYRE oleh Ptolemeus pada tahun 150 M. Kerajaan Salaka Nagara, memiliki raja bernama Dewawarman (I – VIII), yang menjadi asal muasal kemaharajaan Sunda Nusantara.

4. Situs Gunung Padang, Cianjur.

Merupakan situs prasejarah peninggalan kebudayaan Megalitikum di Jawa Barat. Tepatnya berada di perbatasan Dusun Gunungpadang dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Luas kompleks "bangunan" kurang lebih 900 m², terletak pada ketinggian 885 m dpl, dan areal situs ini sekitar 3 ha, menjadikannya sebagai kompleks punden berundak terbesar di Asia Tenggara. Menurut legenda dan cerita para leluhur, Situs Gunungpadang merupakan tempat pertemuan berkala (kemungkinan tahunan) semua ketua adat dari masyarakat Sunda Kuna. Dan ada juga yang mengatakan bahwa situs ini merupakan tempat penobatan para raja yang ada di dalam wilayah kemaharajaan Sunda Nusantara. Saat ini situs ini juga masih dipakai oleh kelompok penganut agama asli Sunda (Sunda Wiwitan) untuk melakukan upacara. Berdasarkan Naskah Bujangga Manik dari abad ke-16 menyebutkan adanya suatu tempat "kabuyutan" (tempat leluhur yang dihormati oleh orang Sunda) di hulu Ci Sokan, yang tidak lain adalah situs ini.

Diduga situs gunung padang sesungguhnya bukanlah gunung, melainkan bangunan berbentuk mirip dengan piramida yang telah terkena timbunan debu vulkanik, sehingga terlihat seperti gunung yang sudah ditumbuhi pepohonan. Di dalam situs gunung padang dipercaya memiliki ruang didalamnya yang kini telah tertimbun tanah. Dalam situs gunung padang ditemukan alat musik yang berupa batu persegi panjang yang bergelombang pada bagian atasnya. Jika setiap gelombang dipukul, maka akan mengeluarkan bunyi yang berbeda antar gelombang satu dengan yang lain. dan alat musik dari batu itu dapat dimainkan dengan benar. 

Laboratorium Beta Analytic Miami, Florida, Amerika Serikat merilis usia bangunan bawah permukaan dari Situs Gunung Padang, sebagai berikut: 1). Pada lapisan tanah urug di kedalaman 4 meter (diduga man made stuctures /struktur yang dibuat oleh manusia) dengan ruang yang diisi pasir (di kedalaman 8-10 meter) di bawah Teras 5 pada Bor-2, adalah sekitar 7.600-7.800 SM. Fantastis!! Usia bangunan ini jauh lebih tua dibandingkan dari Piramida Giza di Mesir yang berumur 2.560 SM. 2). Sedangkan umur dari lapisan dari kedalaman sekitar 5 meter sampai 12 meter, adalah sekitar 14.500–25.000 SM. Ini sangat mengejutkan!! Artinya situs gunung padang ini telah ada sebelum peristiwa banjir besar (berakhirnya zaman es). Kontroversi merebak setelah Tim Katastropik Purba merilis ada sejenis piramida di bawah Gunung Padang. "Apa pun nama dan bentuknya, yang jelas di bawah itu ada ruang-ruang,". "Selintas tak seperti gunung, seperti manmade." Kecurigaan ini berawal dari bentuk Gunung Padang yang hampir segitiga sama kaki jika dilihat dari Utara

SILSILAH KEMAHARAJAAN SUNDA NUSANTARA

KERAJAAN SALAKANAGARA

1. Dewawarman I
2. Dewawarman II
3. Dewawarman III
4. Dewawarman IV
5. Dewawarman V
6. Dewawarman VI
7. Dewawarman VII
8. Dewawarman VIII

KERAJAAN TARUMANAGARA

1. Jayasingawarman (358 – 382) dia adalah menantu dari Dewawarman VIII
2. Dharmayawarman (382 – 395)
3. Purnawarman (395 – 434)
4. Wisnuwarman (434 – 455)
5. Indrawarman (455 – 515)
6. Candrawarman (515 – 535)
7. Suryawarman (535 – 561)
Tahun 526 menantu Suryawarman yang bernama Manikmaya mendirikan kerajaan baru di wilayah Timur (dekat Nagreg Garut) yang kemudian cicit dari Manikmaya yang bernama Wretikandayun mendirikan kerajaan baru tahun 612 yang kemudian dikenal dengan nama kerajaan Galuh.
8. Kertawarman (561 – 628)
9. Sudhawarman (628 – 639)
10. Hariwangsawarman (639 – 640)
11. Nagajayawarman (640 – 666)
12. Linggawarman (666 – 669)
Anak Linggawarman yang bernama Sobakancana menikah dengan Daputahyang Srijayanasa yang kemudian mendirikan kerajaan Sriwijaya. Anaknya yang bernama Manasih menikah dengan Tarusbawa yang kemudian melanjutkan kerajaan Tarumanagara dengan nama kerajaan Sunda. Karena Tarusbawa merubah nama kerajaan Tarumanagara menjadi kerajaan Sunda maka Wretikandayun pada tahun 612 menyatakan kerajaan Galuh adalah sebagai kerajaan yang berdiri sendiri bukan dibawah kekuasaan kerajaan Sunda walaupun sebenarnya kerajaan-kerajaan itu diperintah oleh garis keturunan yang sama hanya ibukotanya saja yang berpindah-pindah (Sunda, Pakuan, Galuh, Kawali, Saunggalah).

KERAJAAN SUNDA/GALUH/SAUNGGALAH/PAKUAN

1. Tarusbawa (670 – 723)
2. Sanjaya/Harisdarma/Rakeyan Jamri (723 –732) ibu dari Sanjaya adalah putri Sanaha dari Kalingga sedangkan ayahnya adalah Bratasenawa (raja ke 3 kerajaan Galuh) Sanjaya adalah cicit dari Wretikandayun (kerajaan Galuh) Sanjaya kemudian menikah dengan anak perempuan Tarusbawa yang bernama Tejakancana.
3. Rakeyan Panabaran/Tamperan Barmawijaya (732 – 739) adalah anak Sanjaya dari istrinya Tejakancana. Sanjaya sendiri sebagai penerus ke 2 kerajaan Sunda kemudian memilih berkedudukan di Kalingga yang kemudian mendirikan kerajaan Mataram Kuno dan wangsa Sanjaya (mulai 732)
4. Rakeyan Banga (739 – 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 – 783)
6. Prabu Gilingwesi (783 – 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (795 – 819)
8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819 – 891)
9. Prabu Darmaraksa (891 – 895)
10. Windusakti Prabu Dewageng (895 – 913)
11. Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913 – 916)
12. Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (916 – 942)
13. Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942 – 954)
14. Limbur Kancana (954 – 964)
15. Prabu Munding Ganawirya (964 – 973)
16. Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989)
17. Prabu Brajawisesa (989 – 1012)
18. Prabu Dewa Sanghyang (1012 – 1019)
19. Prabu Sanghyang Ageng (1019 – 1030)
20. Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030 – 1042) Ayah Sri Jayabupati (Sanghyang Ageng) menikah dengan putri dari Sriwijaya (ibu dari Sri Jayabupati) sedangkan Sri Jayabupati sendiri menikah dengan putri Dharmawangsa (adik Dewi Laksmi istri dari Airlangga)
21. Raja Sunda XXI
22. Raja Sunda XXII
23. Raja Sunda XXIII
24. Raja Sunda XXIV
25. Prabu Guru Dharmasiksa
26. Rakeyan Jayadarma, istri Rakeyan Jayadarma adalah Dyah Singamurti/Dyah Lembu Tal anak dari Mahesa Campaka, Mahesa Campaka adalah anak dari Mahesa Wongateleng, Mahesa Wongateleng adalah anak dari Ken Arok dan Ken Dedes dari kerajaan Singasari.
27. Anak Rakeyan Jayadarma dengan Dyah Singamurti bernama Sang Nararya Sanggrama Wijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya. Karena Jayadarma meninggal di usia muda dan Dyah Singamurti tidak mau tinggal lebih lama di Pakuan maka pindahlah Dyah Singamurti dan anaknya Raden Wijaya ke Jawa Timur yang kemudian Raden Wijaya menjadi Raja Majapahit pertama.
28. Prabu Ragasuci (1297 – 1303) dia adalah adik dari Rakeyan Jayadarma. Istri Ragasuci bernama Dara Puspa seorang putri dari Kerajaan Melayu. Dara Puspa adalah adik Dara Kencana (yang menikah dengan Kertanegara dari Singasari).
29. Prabu Citraganda (1303 – 1311)
30. Prabu Lingga Dewata (1311 – 1333)
31. Prabu Ajigunawisesa (1333 – 1340) menantu Prabu Lingga Dewata
32. Prabu Maharaja Lingga Buana (1340 – 1357), dijuluki Prabu Wangi yang gugur di Perang Bubat.
33. Prabu Mangkubumi Suradipati/Prabu Bunisora (1357 – 1371) adik Lingga Buana
34. Prabu Raja Wastu/Niskala Wastu Kancana (1371 – 1475) anak dari Prabu Lingga Buana (Prabu Wangi). Istri pertamanya bernama Larasarkati dari Lampung memiliki anak bernama Sang Haliwungan setelah menjadi Raja Sunda bergelar Prabu Susuktunggal. Permaisuri keduanya adalah Mayangsari putri sulung Prabu Mangkubumi Suradipati/Bunisora memiliki anak yang bernama Ningrat Kancana setelah menjadi Raja Galuh bergelar Prabu Dewaniskala.

Setelah Prabu Raja Wastu meninggal dunia kerajaan dipecah menjadi 2 dengan hak serta wewenang yang sama, Prabu Susuktunggal menjadi raja di kerajaan Sunda sedangkan Prabu Dewaniskala menjadi raja di kerajaan Galuh. Putra Prabu Dewaniskala bernama Jayadewata, mula-mula menikah dengan Ambetkasih putri dari Ki Gedeng Sindangkasih, kemudian menikah lagi dengan Subanglarang (putri Ki Gedeng Tapa yang menjadi raja Singapura) setelah itu ia menikah lagi dengan Kentringmanik Mayang Sunda, putri Prabu Susuktunggal.

Pada tahun 1482 Prabu Dewaniskala menyerahkan kekuasaan kerajaan Galuh kepada puteranya (Jayadewata), demikian pula dengan Prabu Susuktunggal, ia menyerahkan tahta kerajaan kepada menantunya (Jayadewata), maka jadilah Jayadewata sebagai penguasa kerajaan Galuh dan Sunda dengan gelar Sri Baduga Maharaja atau yang dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.

PENUTUP:

Kami berharap kisah/cerita/fakta sejarah dapat diungkap dengan proporsional karena selama ini saya dan juga bangsa Indonesia lainnya merasa telah “tertipu” oleh politik yang menyembunyikan fakta sejarah yang sebenarnya. Mengapa tidak pernah disebutkan bahwa Sanjaya pendiri Mataram Kuno adalah seorang putra Sunda? Mengapa tidak pernah disebutkan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya seorang putera Sunda? Demikian pula dengan sejarah Majapahit, kenapa tidak pernah pula disebutkan bahwa Raden Wijaya raja pertama Majapahit adalah seorang putera Sunda? 

Mudah-mudahan kejadian “penipuan sejarah” tidak terulang lagi dimasa yang akan datang, terlepas dari keuntungan politik yang akan diperoleh, walau bagaimananpun juga masyarakat tentu akan lebih menghargai informasi yang jujur.
SEJARAH DAN SILSILAH KEMAHARAJAAN SUNDA NUSANTARA
(Bagian-2) - Sejararah Kerajaan Pajajaran

SEJARAH KERAJAAN PAKUAN PAJAJARAN

Nama-nama Raja Pajajaran:

1. Jayadewata/Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi (1474 – 1513)
Pada masa inilah kerajaan Pajajaran mengalami kemajuan serta kemakmuran.
2. Surawisesa (1513 – 1535)
3. Ratu Dewata (1535 – 1543)
4. Ratu Sakti (1543 – 1551)
5.Raga Mulya (1551 – 1579)

1. Jayadewata/Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi (1474 – 1513).

Kerajaan Pakuan Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 tahun (1474 – 1513). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya. Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. 

Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya). Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). 

Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di perang Bubat dan digelari Prabu Wangi. Tentang hal ini, Pustaka Raja-raja Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan cerita kebesaran dari Prabu Maharaja Lingga Buana, sebagai berikut:

“Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain. Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa. Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat”. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja Linggabuana membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja Lingga Buana mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda”.

Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):

“Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan “dasa”, “calagra”, “kapas timbang”, dan “pare dongdang”.

Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran agama. Dengan tegas di sini disebut “dayeuhan” (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu “dasa” (pajak tenaga perorangan), “calagra” (pajak tenaga kolektif), “kapas timbang” (kapas 10 pikul) dan “pare dondang” (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, “upeti”, “panggeureus reuma”.

Dalam kropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa “kapas sapuluh carangka” (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat. Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk “dasa” dan “calagra” (Di Majapahit disebut “walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di “serang ageung” (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).

Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa “piteket” karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas “kabuyutan” di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai “lurah kwikuan” yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak. Untuk kesejahteraan rakyatnya yang sebagian besar bertani dan juga untuk menghalangi serangan pihak musuh maka pada masa itu dibuat sebuat sodetan sungai yang sekarang dikenal dengan nama kali Cidepit dan Cipakancilan. Sungai Cidepit dan Cipakancilan adalah sungai buatan yang sumber airnya berasal dari sungai Cisadane. Sama seperti kerajaan sebelumnya, kerajaan Pajajaran sendiri pada masa kejayaannya sudah menjalin hubungan dagang dengan negara-negara di Asia, Timur Tengah serta Eropa. Pelabuhan lautnya ada di Sunda Kalapa yang kemudian berubah nama menjadi Batavia dan kemudian berubah lagi menjadi Jakarta yang sekarang.

Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar “The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur). Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.

Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran.

Prabu Siliwangi memiliki beberapa orang anak dari beberapa orang isteri. Dari istrinya yang bernama Kentring Manik Mayang Sunda (beragama islam, puteri Prabu Susuktunggal, raja kerajaan Sunda) keturunan-keturunannya pergi mengembara serta membangun wilayah pesisir Utara di wilayah Karawang. Dari istrinya yang bernama Subang Larang (juga beragama Islam, puteri Ki Gedeng Tapa, menjadi raja Singapura), memiliki 3 orang anak yaitu: Kian Santang, Cakrabuana, dan Rara Santang. 

Kian Santang adalah anaknya yang paling sakti serta memiliki ilmu yang sangat tinggi. Pada usia 22 tahun, Kiansantang diangkat menjadi dalem Bogor ke 2 yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Munding Kawati, putra sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Kian Santang muda tertarik untuk mengikuti agama ibunya (Subang Larang), hingga untuk itu beliau belajar agama islam ke Timur Tengah dan tanah suci Mekkah. Sementara adiknya Cakrabuana mengembara ke sekitar wilayah Cirebon. Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana dari mertuanya (Ki Danusela), sedangkan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang). Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Menurut cerita versi Pajajaran beliau yang mendirikan kota Cirebon. Adapun Rara Santang mengembara hingga ke Sumatera untuk belajar agama Islam, hingga sampai ke Timur Tengah dan MENIKAH DENGAN SYARIEF ABDULLAH AL MISRI (RAJA MESIR) keturunan RASULULLAH MUHAMMAD SAW yang ke XXII. Rara Santang dikenal juga sebagai Ibu Syarifah Mudaif, ibu dari Syarief Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (Wali Sanga), Raja Cirebon. 

Sekembalinya dari tanah suci, Kian Santang mulai menyebarkan agama Islam di bumi Pajajaran, termasuk di lingkungan istana Pajajaran. Pada suatu ketika, Kian Santang berniat mengajak ayahnya Prabu Siliwangi untuk masuk agama Islam. Prabu Siliwangi kaget mendengar niat anaknya tersebut, walaupun beliau tidak membenci agama Islam (istrinya Subang Larang beragama islam), namun beliau lebih menyukai agama leluhur (Sunda Wiwitan), dan menolak terhadap ajakan anaknya tersebut. Kian Santang kecewa, namun beliau tak dapat memaksa ayahnya, dan terus menyebarkan agama Islam di bumi Pajajaran. 

Dalam naskah Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2, diceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka (1479 M), Syarief Hidayatullah menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) adalah cucu Sri Baduga dari putrinya Rara Santang, yang dijadikan raja (penguasa) Cirebon oleh uanya, Pangeran Cakrabuana. Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. Karena Syarif Hidayatullah juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh Sri Baduga. Pangeran Cakrabuana dan Syarif Hidayatullah tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu ketegangan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah peperangan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. 

Seiring perjalanan waktu, semakin banyak rakyat Pajajaran yang memeluk agama Islam. Perkembangan ini menimbulkan ketegangan antara Kian Santang dengan ayahnya (Prabu Siliwangi), hingga pada suatu ketika terdengar berita oleh Sri Baduga bahwa Kian Santang hendak menyerang kerajaan dan memaksa ayahnnya untuk memeluk agama Islam. Prabu Siliwangi tidak ingin berperang melawan putranya Kian Santang, akhirnya beliau memutuskan untuk meninggalkan istana kerajaan. Mendengar kepergian ayahnya, Kiansantang bersedih dan bermaksud untuk mengejar ayahnya untuk diajak kembali ke istana. Dengan kesaktiannya, Kian Santang dapat mengejar ayahnya hingga ke daerah Garut Selatan. Namun Prabu Siliwangi tidak ingin menemui putranya, dan beliau beserta pengikutnya memilih untuk moksha di daerah Garut Selatan (Legenda menceritakan bahwa Prabu Siliwangi dan para pengikutnya berubah menjadi harimau).

Kiansantang kembali ke istana Pajajaran, dan selanjutnya diangkat menjadi Raja Pajajaran. Namun Prabu Kiansantang tidak lama menjadi raja karena mendapat ilham harus uzlah, pindah dari tempat yang ramai ketempat yang sepi. Dalam uzlah itu beliau berniat bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam rangka mahabah dan mencapai kema'rifatan. Sebelum uzlah Prabu Kiansantang menyerahkan tahta kerajaan kepada Surawisesa (saudara seayah, dari istri Prabu Sliwangi, Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal).

2. Surawisesa (1513 – 1535)

Setelah Sri Baduga tiada, Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon adalah Syarief Hidayatullah, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana (dikenal juga sebagai Haji Abdullah Iman). Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa, beliau dipuji dalam Carita Parahiyangan dengan sebutan “kasuran” (perwira), “kadiran” (perkasa) dan “kuwanen” (pemberani). Selama memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan hal ini.

Untuk memajukan perdagangan dan memperkuat pertahanan kerajaan, Surawisesa melakukan perjanjian dengan Portugis yang berkedudukan di Malaka. Dalam perjanjian ini disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua “costumodos” (kurang lebih 351 kuintal). Perjanjian ini ditandatangani tanggal 21 Agustus 1522, ketika Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme berkunjung ke Ibukota Pakuan. Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu hanya lisan. Namun, sumber Portugis yang kemudian dikutip Hageman menyebutkan “Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield”.

Perjanjian Pajajaran – Portugis sangat mencemaskan Trenggana, Sultan Demak III. Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus. Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak. Fadillah Khan adalah menantu Raden Patah sekaligus menantu Syarief Hidayatullah (Fadillah Khan memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor /Sultan Demak II. Selain itu Fadillah masih terhitung cucu Sunan Ampel (Ali Rakhmatullah) sebab buyutnya adalah kakak Ibrahim Zainal Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah mertua Raden Patah (Sultan Demak I). Carita Parahiyangan menyebut Fadillah dengan Arya Burah.

Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon menyerang Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Maulana Hasanudin, putra Syarief Hidayatullah dan para pengikutnya. Serangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Pakuan Pajajaran di Banten terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan. Pangeran Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya (Syarief Hidayatullah), menjadi Bupati Banten (1526), bagian dari Kesultanan Cirebon. Setahun kemudian, Fadillah bersama pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran.

Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527. Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka, mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane “Rio de Sa Jorge”. Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin (dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. 

Demikianlah, pada masa pemerintahan Surawisela, wilayah Banten dan Sunda Kalapa dikuasai oleh Cirebon-Demak. Meskipun, Cirebon sendiri sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak, kedudukannya menjadi mantap. Perang Cirebon – Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu tidak berani naik ke darat, yang satunya lagi tak berani turun ke laut. Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Hanya di bagian timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan. Pertempuran Cirebon dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran Demak karena kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan Pasukan meriam Demak tepat pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi “panah besi yang besar yang menyemburkan kukus ireng dan bersuara seperti guntur serta memuntahkan logam panas”. Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh.

Sumedang masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon dengan dinobatkannya Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarief Hidayatullah. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi pendiri pesantren pertama di Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya dengan Satyasih, Pucuk Umum (Unun?) Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah Cirebon. Dengan kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon merasa kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531 tercapai perdamaian antara Surawisesa dan Syarief Hidayatullah. Masing-masing pihak berdiri sebagai negara merdeka. 

Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang untuk mengenang kebesaran ayahandanya. Untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang ayahnya, beliau membuat sasakala (tanda peringatan) buat ayahnya. Itulah Prasasati Batutulis yang diletakkannya di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa lingga batu ditanamkan, dan memuat tulisan:

“Semoga selamat, ini adalah tanda peringatan untuk Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana dinobatkan dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran. Sri sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit pertahanan Pakuan, dia putra Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, undakan untuk hutan Samida dan Sahiyang Talaga Rena Mahawijaya. Dibuat dalam saka 1455.”

Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi padatala ukiran jejak kaki. Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu “penyempurnaan sukma” yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.

Surawisesa dalam kisah tradisional lebih dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Permaisurinya, Kinawati, berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit Munding Kawati yang kesemuanya penguasa di Tanjung Barat. Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di Padaren. Di antara raja-raja jaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun. Babad Pajajaran atau Babad Pakuan, misalnya, semata mengisahkan “petualangan” Surawisesa (Guru Gantangan) dengan cerita Panji.

(Bersambung.....)
SEJARAH DAN SILSILAH KEMAHARAJAAN SUNDA NUSANTARA
(Bagian-3)
3. Ratu Dewata (1535 – 1534)
Surawisesa digantikan oleh puteranya, Ratu Dewata. Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa pwah-susu, hanya makan buah-buahan dan minum susu. Menurut istilah sekarang ”vegetarian”.
Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke Ibukota Pakuan dan musuh “tambuh sangkane” (tidak dikenal asal-usulnya). Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Di samping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan kilat ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan, tetapi dua orang senapati Pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet. Kokohnya benteng Pakuan merupakan jasa Rakeyan Banga yang pada tahun 739 M menjadi raja di Pakuan. Beliau berhasil setelah berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu di awali dengan pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan ini diperluas pada jaman Sri Baduga, seperti yang diceritakan pada Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 sebagai berikut (artinya saja):
"Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (tempat isteri-isteri-nya), kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang, memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran"
Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri yang dalam jaman Sri Baduga merupakan desa kawikuan yang dilindungi oleh negara.
Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan jaman itu tidak tepat karena raja harus “memerintah dengan baik”. Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manurajasuniya seperti yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran (kepada para pembaca)
“Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan”
 (Maka berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa).
Rupa-rupanya penulis kisah kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis kemudian berkomentar pendek “Samangkana ta precinta” (begitulah jaman susah).
4. Ratu Sakti (1543 – 1551)
Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang ditinggalkan Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. ”Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali”.
Kemudian raja ini melakukan pelanggaran, yaitu mengawini “estri larangan ti kaluaran” (wanita pengungsi yang sudah bertunangan). Masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan dari tahta kerajaan.
5. Ratu Nilakendra (1551 – 1567)
Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan sudah tidak menentu dan rasa frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan memberitakan sikap petani “Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan” (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu). Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit.
Prabu Nilakendra tidak perduli pada situasi ini, dia lebih suka berfoya-foya dan dan mengadakan pesta pora makanan enak, seperti diceritakan dalam Carita Parahyangan:
“Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beunghar”
(Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan).
Prabu Nilakendra juga tidak perduli untuk membangun pertahanan kerajaannya, malah memperindah keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu (“dibalay”) mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun “rumah keramat” (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas. Beliau beserta para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan Tantra. Aliran ini mengutamakan mantera-mantera yang terus menerus diucapkan sampai kadang-kadang orang yang bersangkutan merasa bebas dari keadaan di sekitarnya. Mengenai musuh yang harus dihadapinya, ia membuat sebuah “bendera keramat” (“ngibuda Sanghiyang Panji”). Bendera inilah yang diandalkannya menolak musuh.
Kondisi kerajaan yang tak menentu dan melihat penderitaan rakyat Pajajaran, menyebabkan penguasa Banten ketika itu, Sultan Maulana Hasanuddin (putra Syarief Hidayatullah atau masih buyut dari Sri Baduga Prabu Siliwangi) memutuskan untuk mengambil alih kerajaan Pajajaran.Serangan Banten terjadi melibatkan Sultan Maulana Hasanuddin dan putranya Maulana Yusuf. Akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan “alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan” (kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton).
Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika Syarief Hidayatullah masih hidup. Demikianlah, sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dikuasai oleh kesultanan Banten.
6. Raga Mulya (1567 – 1579)
Raja Pajajaran yang terakhir adalah Nusya Mulya (menurut Carita Parahiyangan). Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut Raga Mulya alias Prabu Suryakancana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun (=Panembahan) Pulasari. Walaupun hanya menguasai wilayah kecil saja, namun prabu Raga Mulya masih dapat bertahan selama 12 tahun di wilayah sekitar Pandeglang, sebelum akhirnya diserang kembali oleh kesultanan Banten pimpinan Sultan Maulana Yusuf.
Sejarah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan dalam pupuh Kinanti (artinya saja):
“Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu”.
Walaupun tahun Alief baru digunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633 M, namun dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 itu memang akan jatuh pada tahun Alif. Yang keliru hanyalah hari, sebab dalam periode itu, tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu.
Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2 :
“Pajajaran sirna ing ekadaca cuklapaksa Weshakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Cakakala” .
(Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Kira-kira jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 M. Sisa-sisa pengawal istana Pakuan selanjutnya menjadi cikal bakal penduduk Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Naskah Banten memberitakan, bahwa benteng Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadi “penghianatan”. Komandan kawal benteng Pakuan merasa sakit hati karena “tidak memperoleh kenaikan pangkat”. Ia adalah saudara Ki Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam, Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan saudaranya itu.
Dan berakhirlah jaman Pajajaran (1482 – 1579). Itu ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Sultan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di boyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu “mengharuskan” demikian. Pertama, dengan diboyongnya Palangka tersebut, maka resmilah Sultan Maulana Yusuf menjadi penerus kekuasaan Pajajaran yang “sah”, karena beliau juga adalah cicit dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi.
KESULTANAN BANTEN DAN SUNDA NUSANTARA
Setelah Kerajaan Pajajaran berakhir, maka selanjutnya Kesultanan Banten dibawah Sultan Maulana Yusuf memegang tampuk kekuasaan di wilayah Banten, dan Pajajaran. Pada awalnya Banten merupakan wilayah bawahan Kesultanan Cirebon. Namun setelah wafatnya Syarief Hidayatullah (1568 M), Banten memisahkan diri dari Cirebon. Pada tahun 1570, Sultan Maulana Yusuf resmi dinobatkan sebagai Sultan Banten menggantikan ayahnya Sultan Maulana Hasanuddin, dan Banten resmi menjadi kerajaan merdeka bertepatan dengan wafatnya Fadillah Khan (Fatahillah), Sultan Cirebon pengganti Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Kesultanan Banten merupakan pewaris ”sah” dari Kerajaan Sunda Nusantara, penerus dari Maharaja Purnawarman, raja Tarumanagara, yang wilayah kekuasaannya mendunia.  
Berikut adalah silsilah raja-raja di Kesultanan Banten
1.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN SYARIEF HIDAYATULLAH AL MISRI (SUNAN GUNUNG JATI/JATI PURBA) (1513-1552). Beliau adalah raja kesultanan Cirebon yang melepaskan diri (merdeka) dari kerajaan Pakuan Pajajaran setelah Sri Baduga Prabu Siliwangi wafat tahun 1513. Beliau adalah CUCU SRI BADUGA MAHARAJA PRABU SILIWANGI, dari putrinya, NYAI RATU RARA SANTANG, setelah menikah dengan RAJA MESIR SYARIEF ABDULAH AL-MISRI (Keturunan RASULULLAH SAW ke-22). MENIKAH DENGAN KANJENG GUSTI RATU PREMBAYUN (PUTERI TERTUA MAHARAJA KESULTANAN DEMAK, SULTAN FATAH/ PUTERA TERTUA dari RAJA MAJAPAHIT, PRABU BRAWIJAYA V). Wilayah kekuasaanya mencakup wilayah Cirebon, serta Banten dan Sunda Kalapa, setelah kedua wilayah tersebut direbut dari kerajaan Pakuan Pajajaran.
2.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN SYARIEF MAULANA HASANUDIN AL MISRI/ MAULANA SABA KIN-KING (1552-1570). Pada masa pemerintahan beliau, Ibu kota dipindahkan dari Charuban(Cirebon) ke Taruma Nagara (Sunda Kelapa).
3.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN SYARIEF MAULANA YUSUF AL MISRI (1570-1580). Pada tahun 1579, beliau menjadi penerus kekuasaan Pakuan Pajajaran yang sah, ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Istana Surasowan di Banten.
4.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN SYARIEF MAULANA MUHAMMAD AL MISRI (1580-1596) -
5.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN ABUL MAFACHIR RACHMATULLAH AL MISRI (1596-1640)
6.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN ABUL MA’ALI ACHMAD RACHMATULLAH AL MISRI/ KYAI AGENG TIRTAYASA (1640-1651)
7.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA KANJENG SULTAN AGUNG ABUL TATGHI ABDUL FATAH AL MISRI/ SULTAN WANGI AGENG TIRTAYASA (1651-1675). Pada masa pemerintahannya, kesultanan Banten mengalami kemajuan pesat. Beliau memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda (VOC), dan  menolak perjanjian monopoli. Oleh karena itu beliau menjadi salah seorang tokoh pahlawan nasional
8.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUN NAZAR ABDUL KAHAR AL MISRI (1675-1687)
9.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABU FADHL MOEHAMMAD YAHYA (1687 – 1690)
10.  SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ZAINUL ABIDIN AL MISRI (1690-1733).
11.  SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUL FATAH MUHAMMAD SYAFEI ZAINUL ARIFIN AL MISRI (1733-1747)
12.  SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUN NASAR MOEHAMMAD ZAINUL ASIKIN AL MISRI (1753-1776). Beliau beristrikan Kanjeng Ratu Sepuh, putri dari Susuhunan Mataram bergelar Prince Kanjeng Gusti Pangeran Harya Puger Susuhunan Paku Buwono I. Dengan adanya pertalian melalui pernikahan tsb., maka pada dasarnya kekuasaan Kerajaan Maha Raja Sunda, Benua Sunda, Sunda Nusantara mencakup wilayah kekuasaan dari Daratan Sunda Malaka (Melayu dan Singapura) dan dari Jawa Barat sampai ke wilayah Kendal, Banyumas, Jepara dan seluruh Jawa Tengah, Lampung, Bengkulu, Siam, Siak, Indrapura, dan Indragiri (Pulau Sunda Besar Andalas) serta Pulau Sunda Besar Borneo
13.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUL MAFACHIR MOEHAMMAD ALI’OEDDIN AL MISRI (1776-1810). Pada tanggal 4 Juli 1776 Amerika Serikat mendapat kemerdekaannya dari Kanjeng Sultan Abul Mafachir Moehammad Alioeddin I, bukan dari Kerajaan Inggris. Mundurnya Inggris bukan lantaran menangnya tentara Amerika, tetapi karena desakan Sultan Alioeddin kepada administratur benua Amerika yaitu Kerajaan Inggris dalam upaya Sultan ingin menggembalikan pemerintahan Bangsa Malay-Indian (nama sebenarnya Bangsa Indian). Bantuan Sultan Alioeddin kepada pemerintah Amerika Serikat diawal berdirinya (4 Juli 1776) dengan memberikan pinjaman keuangan/ koleteral (ribuan ton emas). Sultan Alioeddin juga merupakan Raja pertama yang memberi pengakuan kepada George Washington (presiden pertama AS), serta membuatkan gedung pemerintahan White House yg serupa dibangun di Kebon Raja Bogor (Istana Bogor). Peristiwa ini menyulut tragedi Banda.
14.  SERI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ACHMAD AL MISRI (1802-1810-1811). Berkedudukan di Istana Merdeka, Istana Cipanas, Istana Bogor, dan Istana Serosowan Bantan. Dalam peperangan terbuka (10 Mei 1810) dapat menumpas pasukan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Wiliem Daendeles. Dalam peperangan itu ditaklukkan (10 Mei 1810-1811) Gubernur Jenderal HW Daendeles beserta pasukannya menyerah tanpa syarat dan H.W Daendeles dipenjarakannya.
  
Untuk merayakan kemenangannya, Sultan Achmad mengundang sahabatnya sewaktu beliau belajar di Kerajaan Inggris, Thomas Stamford Raffles (1810-1816), untuk berkunjung dan jalan-jalan ke pulau Banda Maluku (Pulau Sunda Kecil). Beliau mengira bahwa kerajaan Inggris adalah seteru dari kerajaan Perancis yang menjajah Belanda (H.W Daendels ketika itu mewakili kerajaan Perancis). Namun T.S. Raffles menghianati maksud baik Sultan Achmad, karena dia ternyata mengemban misi rahasia dari raja Inggris, George IV yang dendam terhadap Sultan Moehammad Alioedin I (ayah Sultan Achmad) yang telah memberi kemerdekaan kepada Amerika Serikat, untuk menagkap Sultan Achmad dan membebaskan H.W. Daendels, yang merupakan keluarha bangsawan De’Orange, sepupu keluarga Buckingham.
  
Sultan Achmad yang ketika itu hanya dikawal sedikit prajuritnya ditangkap oleh T.S. Raffles yang telah siap dengan pasukannya di P. Banda, kemudian diikat dan  tinggalkan begitu saja (tragedi P. Banda). Selanjutnya pemerintahan Sunda Nusantara diambil alih dan pengambilan alihan itu meluas sampai Selat Malaka-Singapura. Untuk melicinkan kepentingan politiknya, T.S. Raffles menghilangkan bukti sejarah lainnya dengan menghancurkan Istana Surosowan Banten. Kemudian pada tahun 1816, T.S. Raffles menyerahkan pendudukan (Annexation) administratif kolonial di wilayah Sunda Nusantara kepada Kerajaan Belanda (sahabat kerajaan Inggris) yang diwakili oleh Herman William Daendels di Semarang.
  
Ribuan ton emas dijarah sejak saat itu, yg digunakan untuk modernisasi England & pembangunan persemakmuran negara jajahannya (Kanada, Australia, Singapura, Hongkong, Afrika Selatan dst). Keluarga kerajaan-kerajaan di Nusantara dibantai dan dirampok. Arsip (bukti-bukti) pemerintahan dimusnahkan dan diambil untuk dihilangkan. Sebagian besar arsip yang menuliskan sejarah bumi dan pemerintahan masih disimpan di Mahkamah Internasional di Den Haag dan Universitas Leiden, Amsterdam. Inilah sebabnya Mahkamah Internasional berada di Belanda, karena sejarah aset dunia tersimpan disana beserta literatur pendukungnya.
Dari rangkaian peristiwa diatas (kasus Pulau Banda dan Semarang), dimulailah proses manipulasi Sejarah Kebangsaan Bangsa Sunda Nusantara dan pemalsuan sejarah dunia berlanjut terus sampai diperkenalkannya nama “Indonesia” hingga saat ini.
15.  SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABDULAH AL MISRI.  Berkedudukan di Istana Cipanas, Bogor. Wafat 1860.
16.  SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA PANGERAN GUNAWAN MARTAKUSUMAH AL MISRI.
17.  SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA PANGERAN ABDULLAH HALIM PRAWITA PURNAMA AL MISRI.
18.  SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUL MAFACHIR MOEHAMMAD HEROENINGRAT SILIWANGI AL MISRI. WAFAT DI BOGOR 12 NOVEMBER 1989.
19.  SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA  KANJENG GUSTI PANGERAN  HADIPATI HARYA RACHMATULLAH HEROENINGRAT SILIWANGI AL MISRI II/  HIS IMPERIAL MAJESTY SERI PADUKA YANG MAHA MULYA  BAGINDA MAHARAJA MAJESTY KAISER KANGJENG MAHA PAGUSTEN EMPEROR SULTAN AGUNG MAHA PRABU SYARIEF ABUL MAFACHIR  MOEHAMMAD HEROENINGRAT SILIWANGI AL MISRI II. Lahir di Jakarta 30 september 1963 (Legal Crown of THE Monarchies of the Sovereign Emperor of the Sovereign Empire of Sunda-Sunda Maindland-The Sunda-Archipelago or the Sunda-Nusantara-Pasific-a Greater part of the Pasific-the Mountain-Pasific in the part of-the Pasific Sunda-Malay-Asia-Minor. The Empire Parlementer was Manual Democratie, Basically the Religons and Humanity.
PENUTUP
Pada tahun 1976, pemerintah Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara mengajukan resolusi kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Mahkamah Internasional (MI), yang menyampaikan penjelasan eksistensi Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara. Selanjutnya PBB dan Dunia Internasional ternyata masih mengakui keberadaan Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara dan pemerintahan Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara masih berlanjut. Pengakuan PBB dan Dunia Internasional tersebut masing-masing tahun ; 1970, 1976, 1985, 1991, 1992, 1993, 1995, 2001. . . . . dst 2005, 2006, 2007, dan sampai saat ini pun pengakuan Dunia Internasional bukan hanya kepada wilayah territorial (Territorial Integrity) milik Kerajaaan Maha Raja Sunda Nusantara tapi juga kepada pemerintahan dan Bangsa Sunda Nusantara, yang sampai saat ini tampuk Kekaisaran di pegang oleh Seri Baginda Abul Mafachir Moehammad Heroeningrat Siliwangi Al – Misri II.
Keberadaan Al Misri II di jaman Order Baru sangat di takuti keberadaannya. Kerena itu tidak heran jika beberapa anggota keluarga Al Misri II pernah mendekap di sel karena di curigai akan berbuat makar. Namun keberadaan mereka diakui dunia Internasional, maka penahanannya tidak lebih dari 2 hari. Di tempat yang sama Al Misri II melalui sekretaris pribadinya, menunjukkan CD (Corps Diplomatics). Dengan kartu CD yang isinya Simbol, bendera, keterangan, cap kerajaan, dan tanda tangan kaisar dapat dengan mudah dalam urusannya ke luar negeri. Karenanya, kata beliau, CD telah diuji kebenarannya saat dirinya membuat paspor Ke Brunei Darussalam. Diakuinya, hanya dalam waktu 3 jam semuanya telah selesai. Hal itu tak lain dari pengakuan hukum-hukum internasional yang mengakui keberadaan kekaisaran Sunda Nusantara.
Kesejahteraan seluruh bangsa rakyat Sunda Nusantara didaratan Sunda Nusantara-Sunda Melayu sampai saat ini di simpan di 93 Negara dalam bentuk assat-asset :
• Collaterals in federal reserve certificate of the united states America
• Bound Guarantee Redland Merchant Bank of Switzerland 
• Obligation certificate of deposit credit Swiss Bank International 
• Certificate of Swiss Bank Corporation
• Obligation treasure Bound National Bank of England Bank de Netherlands City Bank New Yorkand United Overseas Bank Singapore 
Selain itu asset-asset ini juga berbentuk logam mulia, platinum, dan benda-benda berharga lainnya yang dikumpulkan oleh Raja-raja di seluruh Sunda Nusantara di daratan Sunda Melayu Nusantara Bangsa Sunda Nusantara di daratan Sunda Nusatara di kepulauan Sunda Besar-Sunda Kecil, Di samping itu masih tersimpan uang sebesar 4000 triliun poundsterling yang tersimpan di Negara Inggris. Dapat dibayangkan betapa besarnya asset-asset bangsa Sunda Nusantara yang hingga saat ini masih tersimpan dan tersebar di luar negeri yang di sebut the making of a super power danSunda Nusantara Dollar Trilion, milik pemerintah Negara Kerajaan Bangsa Sunda